Jeruji Besi: A Sanctuary
Written by: Paulus Darma Wicaksono (1st Winner Feature Writing Competition at CommAwards 2015)
Dari
balik jeruji besi menatap pemandangan yang sama setiap harinya membuat wajah Pikolo
hampir tanpa ekspresi. Kedua tangannya sesekali menempel pada jari-jari besi
beridameter 3 centimeter yang mengisi kesehariannya. Memang tak banyak yang
bisa dilakukan beruk jantan bernama latin Macaca Nemestrina ini ditempat
penampungan.
Satu-satunya hiburan di kandang
kecilnya yang hanya diperuntukkan bagi satu ekor satwa, yakni sebatang kayu dan
ban bekas atau sejenisnya, untuk berayun-ayun di bawah atap kandang. Letak
kandang Pikolo berada di antara satwa lain seperti beruang madu, kera ekor
panjang dan beberapa satwa lain yang sebaris dengannya. Kedatangan pengunjung
bagai angin segar bagi Pikolo dan satwa lain, terlihat dari antusiasme mereka
melirik ke arah langkah kaki yang sedang melewati area kandang. Sudah menjadi
bagian dari keseharian Pikolo mendengarkan suara dari satwa lain yang berbeda
spesies. Mereka sudah menjadi good
neighbors baginya.
Primata jenis ini merupakan salah satu hewan yang ditangkarkan organisasi non-profit Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta. Berlokasi di dusun Paingan, kecamatan Pengasih, kabupaten Kulon Progo, WRC yang dulunya mengadakan konservasi untuk jenis primata Orang Utan, sejak tahun 2010 mulai menampung berbagai jenis satwa yang terancam punah.
Primata jenis ini merupakan salah satu hewan yang ditangkarkan organisasi non-profit Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta. Berlokasi di dusun Paingan, kecamatan Pengasih, kabupaten Kulon Progo, WRC yang dulunya mengadakan konservasi untuk jenis primata Orang Utan, sejak tahun 2010 mulai menampung berbagai jenis satwa yang terancam punah.
Hingga bulan September
2015, WRC memiliki satwa sebanyak 166 ekor dengan 24 jenis sub spesies,
beberapa diantaranya primata (orang utan, siamang, beruk, kera ekor panjang,
owa sumatera, owa kalimantan, kukang), burung (elang brontok, elang bido, elang
piton, elang bondol, elang pelek, burung hantu, kukuk seloputu, kasuari, merak),
mamalia (Rusa, Kijang), dan Reptil (Buaya, Ular). Sebelum ditampung WRC, satwa
harus melalui pendataan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Sebagai
organisasi non-profit, pengelolaan satwa, kandang, dan pakan dilakukan secara
mandiri dengan membangun unit usaha seperti, penginapan, outbound, dan edukasi satwa.
Satwa
yang ditampung WRC berasal dari dua sumber yakni dari laporan warga dan sitaan aparat
kepolisian. “Dua sumber itu dibagi tiga jenis perolehan dari laporan warga yang
menemukan satwa langka terancam punah, satwa langka terjangkit penyakit, dan
sitaan dari oknum pemburu liar yang diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA),” ujar Kepala Divisi Pengelolaan Satwa WRC, Wisnu Aditya.
Dari
sekian hewan yang ditangkarkan tidak semua bisa kembali ke habitat asalnya.
Seperti Pikolo dan beberapa jenis primata lain. WRC hanya mengembalikan satwa
di hutan sekitar Yogyakarta karena masih belum bisa menjamin proses
pengembalian ke luar daerah. Untuk itu, release
diprioritaskan bagi satwa burung karena karena habitatnya yang masih
tersedia, jenis satwa lain kebanyakan berasal dari luar daerah seperti Pikolo. Satwa
burung pun masih ada yang tidak bisa atau belum siap dikembalikan ke alam liar.
Pikolo, salah satu hewan di penangkaran WRC
|
Faktor
yang mempengaruhi antara lain habitat yang makin menyusut seiring bertambahnya
jumlah penduduk pedesaan, berkurangnya hutan akibat aktivitas tambang (alam tak
layak huni), cacat fisik satwa dampak dari perburuan liar, dan over population. Ketersediaan dan
kelangsungan hidup hewan kedepannya juga perlu diperhatikan sebagai salah satu
proses prosedur release. Tahapan
penempatan kandang sebagai rumah persinggahan satwa yang akan release harus disesuaikan dengan kondisi
mental satwa. Jika stres yang dialami cukup berat, kandang harus netral dari
satwa lain.
Contoh
kasus gagal release akibat cacat
fisik dialami seekor Elang Brontok. Ia terpaksa tidak bisa dilepas ke alam liar
karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Kesehatan fisik yang dimaksud meliputi
paruh, sayap, cakar, penglihatan, penciuman, harus dalam kondisi prima agar
ketika dilepas bisa melangsungkan hidupnya dan berkembang biak. Elang brontok
ini mengalami kebutaan pada kedua matanya, membuat kesehariannya hanya
dihabiskan dibawah kubah jeruji besi. Sekalipun mencoba mengudara, ia tak luput
dari benturan jeruji besi yang menudunginya karena daya pandang yang buruk. “Ada
juga elang yang setibanya disini (WRC) sayapnya sudah dalam keadaan patah, jadi
hanya bisa melompat-lompat saja untuk cari makan, brontok yang diperoleh sudah
dalam keadaan buta atau penglihatan yang buruk akibat perlakuan buruk dari
oknum pemburu liar,” jelas Wisnu diruangannya.
Elang
identik dengan kegagahannya di langit biru, dengan bentangan sayap yang
menyimbolkan predator langit. Penglihatan yang buruk atau sayap yang patah,
jika dikembalikan ke habitatnya, predator langit tersebut dikhawatirkan hanya
akan menjadi mangsa bagi predator lain. Sehingga kelangsungan spesies akan
berkurang dengan percuma. WRC sangat selektif melakukan release, kondisi fisik menjadi persyaratan utama sebelum kondisi
mental.
Tahun
ini WRC mendapat satu penghuni baru yaitu burung merak yang diperoleh akibat
serangan warga di daerah Pogung Baru. Area lahan kosong atau area teduh tiap
tahunnya bertransformasi menjadi puluhan rumah makin menyesakkan kehidupan
makhluk lainnya. Alhasil salah satu pihak terpaksa harus mengalah atau menjadi
korban. Wisnu menceritakan siksaan ini juga sering dialami orang utan di daerah
Kalimantan. Perawatan cukup sulit adalah menumbuhkan kembali naluri alamiahnya,
karena satwa jenis primata memiliki kemiripan dengan manusia. Ketika mengalami
stres bisa mengganggu nafsu makan, psikologi, dan emosional.
Satwa
siksaan itu menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di
Yogyakarta. Itu sebabnya penangkaran WRC terdapat satwa dari luar pulau.
Kemudian ada juga hasil sitaan dari daerah
Muntilan. Jumlah satwa yang diburu mencapai puluhan ekor dalam kondisi
tak terawat, bajing terbang, dan kukang. Satwa liar memiliki tingkat stres yang
cukup tinggi sehingga membuat mereka sangat renatan dan mudah mati.
Mengutip
dari nationalgeographic.co.id menyebutkan
populasi primata di Indonesia sebagai negara dengan jumlah primata terbanyak
kini menuju kepunahan. Dengan memiliki 59 spesies dan 77 taksa (spesies dan
subspesies), 35 spesies (58 taksa). Laporan Red List of Threatened Species IUCN, kini tersisa 53 taksa (68,8 %) primata Indonesia terancam punah.
A cage for sanctuary, mungkin relevan menggambarkan keadaan
satwa yang ‘diculik’ dari rumah asalnya dan berakhir di bawah kandang
perlindungan. Wisnu dan pengurus WRC berupaya mengembalikan sebagian besar
satwa yang laik lepas ke alam liar. Mengurung terus-menerus ekor demi ekor
satwa bukan tujuan utama WRC, harapannya boarding
house satwa liar akan menjadi seperti artinya (singgah). Hingga di kemudian
hari bisa kembali ke rumah beratap pepopohan hijau beralas tanah.
Komentar
Posting Komentar