Terima Kasih Prawirosetomo

Written by: Paulus Darma Wicaksono (Student of Communication Department)

Langkah kaki mereka menemani saksi bisu monumen Stasiun Radio AURI PC-2 mengenang Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Taman Kanak-kanak Negeri (TKN) 1 Maret Playen, Gunungkidul memagari lokasi bersejarah penyiaran perjuangan rakyat Indonesia. Terbayang suasana riuh anak-anak di era reformasi menghiasi hitam putih era perjuangan kemerdekaan. Rumah joglo sederhana di balik monumen merelakan dirinya, mewujudkan cita-cita bangsa dengan didirikannya stasiun radio oleh Kepala Perhubungan AURI, Marsekal Madya (Purn) Boediardjo.
Dinding rumah milik keluarga Prawirosetomo sudah renta dimakan usia. Akan tetapi masih kokoh menopang atap yang merekam hiruk pikuk prajurit TNI AU memasang peralatan radio dengan tipe People Coorporeation (PC). Suasana di dalam rumah yang berukuran kurang lebih 15x10 meter nampak senyap, lantaran tidak ada perabot yang tertinggal lagi. Hanya tulisan yang dipajang disetiap sudut dinding rumah yang mampu bercerita.
Tak ada yang tersisa dari anggota keluarga Prawirosetomo, hanya anak dari menantu yang masih hidup dan tinggal di dekat rumah yang dimuseumkan itu. Dusun Banaran, kelurahan Playen, kecamatan Playen, kabupaten Gunungkidul menjadi tempat Sri Haryati (60) tinggal bersama ibunya yang merupakan menantu Prawirosetomo. “Pak Boediardjo saat itu meninjau apakah pernah ada pemuda yang tinggal di rumah Prawirosetomo, mbah saya menjawab iya, lalu beliau memutuskan melakukan siaran di rumah keluarga saya,” ungkap Sri Haryati saat ditemui dirumahnya.

Para pemuda yang sempat menempati rumah Prawirosetomo itu membuat Boediardjo mendapat ide untuk melakukan siaran. Butuh tenaga ekstra mengatur peralatan penyiaran saat itu, antena pemancar direntangkan antara kedua pohon kepala agar sinyal berita sampai ke seluruh dunia. Pasca siara pun peralatan harus segera dikemasi agar Belanda tidak mencium upaya penyiaran mereka. Tokoh-tokoh AURI yang terlibat saat itu meliputi, Marsekal Madya (Purn) Boediardjo sebagai perintis radio AURI PC-2 Playen, Komodor Udara Abdulrachman Saleh perintis Perhubungan AURI, dan Panglima Besar Jendral Soedirman.
Monumen yang didirikan pada 10 Juli 1984 bersanding dengan TK bukan tanpa alasan. Sri menceritakan pasca pelantikan Boediardjo menjadi Menteri Penerangan pada tahun 1968, setahun sekali sering mendapat kunjungan. Sebagai tanda terima kasih dari Boediardjo beserta pasukannya, cincin emas dan sebuah radio diberikannya. Rencana pembangunan monumen di depan rumah bekas tempat penyiaran ingin dibarengi dengan pembangunan sekolah. Pasangan Prawirosetomo, anak pertamanya Soedono beserta saudara-saudaranya dan anak-anaknya mengusulkan membangun taman kanak-kanak.
Boediardjo bersama keluarga besar Prawirosetomo
“Bapak saya mengusulkan untuk dibangun TK dan seluruh anggota keluarga manut, karena waktu itu sekolah TK masih sangat jarang dan jaraknya cukup jauh,” tambah Ibu kelahiran 1955 ini. Rencananya sebelum membangun TK, akan dibangun Sekolah Menengah Pertama (SMP), Boediardjo pun mengikuti keinginan sang pemilik tanah. Jadilah Taman Kanak-kanak Negeri 1 Maret yang memagari rumah tua penuh cerita perjuangan yang dramatis. Sri menambahkan tempat berdirinya monumen dulunya merupakan rumah joglo bagian dari museum stasium radio. Kebutuhan keuangan keluarga Prawirosetomo saat itu membuat mereka menjual rumah bagian depan dan didirikanlah monumen oleh Boediardjo.
Ketika kaki melangkah saat sinar matahari mulai meredup, kesunyian sekolah yang berdampingan dengan monumen dan museum semakin memainkan imaji. Kegiatan belajar mengajar di sekolah berlangsung dari pagi hingga siang hari, saat menapak tilas di sore hari tentu akan terasa terasa sunyi. Hal itu merangsang flashback mencoba membayangkan keadaan prajurit TNI memasang peralatan radio untuk melakukan siaran, serta tawa siswa dan siswi TKN 1 Maret yang mengelilingi indera pendengaran. Selain itu, rupa-rupa gambar yang menghiasi dinding sekolah merangsang bayangan anak-anak yang dalam benak. Terpampang juga di masing-masing pintu setiap ruangan bertuliskan “Gugus 1” dan “Gugus 2” seakan mengisyarakatkan bahwa itulah nama ruang kelas yang digunakan para siswa disini.
Monumen Stasiun Radio AURI PC-2 yang berada
di lingkungan sekolah
Tidak mudah melakukan siaran saat itu, namun upaya Boediardji berbuah manis. Pesan perjuangan sampai di India yang kemudian dari New Dehli oleh All India Radio meneruskan pesan suksesnya serangan umum. Setelah menyiarkan ke seluruh dunia, perwakilan Republik Indonesia di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) membeberkan sukses serangan umum pada sidang tanggal 7 Maret 1949.
Keluarga Prawirosetomo tidak mengerti, mengapa kami melonjak kegirangan, saling berpelukan seperti orang kesurupan”. Begitu pesan yang tertulis di dinding rumah Prawirosetomo, jasanya turut terlibat menyediakan atap berlindung bagi pelaku perjuangan bangsa akan abadi dalam bingkai kaca itu. Hingga saat ini, Sri Haryati merasa bangga hidup di tengah keluarga yang turut andil dalam detik-detik kritis upaya meraih kemerdekaan yang hakiki. “Sosok perintis seperti pak Boediardjo sangat disegani oleh keluarga saya, saat menjabat menjadi menteri dan datang berkunjung. Bekas minuman tehnya selalu menjadi rebutan anak-anak, katanya biar tertular jadi menteri” tukas ibu beranak tiga ini.
10 Maret, Belanda mengadakan penerjunan besar-besaran, membawa peralatan radio di Gading menuju Brosot, Wates. Saya dan Basukihardjo adalah dua orang terakhir yang meninggalkan dusun Banaran.” Salah satu bingkai kembali berbicara, tak bisa dibayangkan peristiwa saat itu. Kisah yang tiada habisnya untuk di bahas, perjuangan yang ‘heroik’ seakan tergradasi oleh zaman. Tidak sejalan lagi dengan cita-cita luhur bangsa, perjuangan itu menyusut dan berubah menjadi perjuangan semu.
Sinar matahari sore makin redup, lensa kamera yang menangkap sisa-sisa peristiwa tempo dulu tak berdaya memanipulasi zaman. Rapuh oleh waktu tak bisa dipungkiri, perjalanan bangsa ini belum selesai. Bahkan rakyatnya pun secara laten terjajah atau belum merdeka dari perubahan zaman yang semakin menawarkan kenikmatan global. Dalam sehari rasanya sudah cukup mendapat sekilas visualisasi langsung tentang monumen penyampai pesan perjuangan itu. Kaki melangkah menjauhi lingkungan sekolah, berharap kunjungan selanjutnya dapat merekam hiruk-pikuk siswa dan guru di sekitar saksi bisu sang monumen  1 Maret.


Komentar

Postingan Populer